MERDEKA bukanlah
hanya sekedar terlepas dari hegemoni bangsa/orang lain. MERDEKA itu
punya tujuan, yaitu agar menjadi setara dengan orang lain. Apalah
artinya dikatakan MERDEKA, kalau ternyata kenyataannya kita tidak setara
dengan orang/bangsa lain?
Dengan begitu, MEMERDEKAKAN orang lain artinya bukan hanya membebaskan dia menentukan jalan hidupnya sendiri, tapi yang terpenting, menjadikan dia setara dengan semua orang.
Dalam konteks dunia pertanian kita, secara de jure, seluruh bangsa indonesia, termasuk seluruh petaninya, telah mendapat predikat MERDEKA sejak 17 agustus 1945. Sejak proklamasi itu, tak ada satupun lagi warga Indonesia yang hidup dibawah kekuasaan bangsa lain. Itu secara de jure. Bagaimana secara de facto?
Saya kurang paham kehidupan petani kita puluhan tahun yang lalu. Namun bila melihat kenyataan sehari2 sekarang ini, kebanyakan petani kita hanya menikmati kemerdekaan secara de jure saja. Secara hukum memang mereka bebas untuk hidup mandiri, bebas menentukan pilihan sendiri. Tapi secara faktual, sesungguhnya mereka hanya berganti TUAN (MENEER) saja. Kalau dulu tuan yang harus mereka layani adalah manusia berkulit putih (juga kuning, untuk sesaat), maka kini mereka harus melayani tuan2 lain, yang kulitnya kebanyakan sewarna dengan warna kulit mereka. Kalau boleh jujur, kebanyakan petani Indonesia hidup dalam kemerdekaan semu belaka. Padahal realita hidup mereka sehari2 penuh dengan keterpaksaan. Pilihan2 yang mereka ambil setiap hari , berkaitan dengan profesi mereka, seringkali hanyalah pendiktean oleh orang2 lain yang memiliki kekuasaan dan kepentingan yang lebih besar dan lebih kuat. Tuan2 penguasa di jaman pasca revolusi fisik ini, seringkali tak kalah kejam dan galaknya ketimbang meneer2 kulit putih yang dulu pernah mereka usir dari negeri ini.
Penjajahan era kemerdekaan ini nampak lebih halus dibandingkan penjajahan era sebelumnya. Tapi akibatnya sama saja buruknya, yaitu meminggirkan (memarjinalkan) petani. Pada jaman kolonial, petani Indonesia hanya dipakai tak ubahnya bagai cangkul saja. Dipakai hanya untuk memenuhi kebutuhan bangsa2 penjajahnya. Sementara harkat dan martabat petani sendiri tak terlalu dihiraukan. Mereka dipelihara seperti kerbau atau lembu saja. Diiberi imbalan secukupnya (itupun kadang tak cukup), sementara yang menikmati keuntungan terbesar dari jerih lelah mereka justru orang2 lain yang tak merasakan pahit getirnya pertarungan di ladang. (Bukankah lembu atau kerbau nasibnya begitu? Mereka yang capek, tapi yang mendapatkan untung paling besar bukan lembu atau kerbau itu kan?).
Bagaimana setelah merdeka? Setali tiga uang. Lagi2 petani hanya dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan orang lain. Semua orang di muka bumi ini menikmati keuntungan yang sebesar2nya dari jerih lelah petani. Tak seorang manusiapun bisa hidup tanpa jasa petani. Tapi apa yang diperoleh petani pada umumnya sebagai imbalan atas jasa mereka menopang kehidupan semua manusia di bumi? Tak sebanding! Dimana2 pada umumnya, petani selalulah berada di posisi paling "corot" dari ukuran kesejahtraan dan penghargaan.
Kita memberi penghargaan "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" kepada guru2 kita, atas jasa mereka mencerdaskan anak2 (dan juga) kita. Bahkan babu2 yang kita ekspor keluar negeri kita beri penghargaan "Pahlawan Devisa". Lalu penghargaan apa yang kita berikan kepada petani2 kita, yang karena jasanya, setiap pagi kita masih bisa sarapan, makan siang dan makan malam. Coba bayangkan wajah dunia hari ini tanpa petani. Masih bisakah kita tersenyum satu sama lain. Saya rasa tak seorangpun masih bisa ganteng atau cantik lagi. Kalau kita bertemu, saya yakin, wajah yang saya lihat (juga yang Anda lihat), pastilah hanya wajah buruk dari orang bermuka pucat dan murung akibat kurang gizi. Dan saya sudah bisa bayangkan, suara musik yang kita akan paling sering dengar pastinya bukan dari sound system electronic tercanggih dirumah kita, melainkan dari gemuruh orkestra dari dalam perut kita sendiri. Bukankah dunia ini lebih menyeramkan tanpa kehadiran petani? Guru2 seluruh dunia boleh saja berhenti mengajar, pembantu2 rumah tangga boleh saja mogok bekerja, para insinyur komputer yang kita bangga2kan boleh saja pensiun berkarya, juga semua tentara, supir, atlit, atau apapun. Bahkan sekalipun seluruh raja2 dan penguasa2 dunia turun tahta secara serempak malam ini, kehidupan di bumi masih akan bisa bertahan, walaupun mungkin akan sulit. Tapi bagaimana kalau semua petani berhenti bertani sejak hari ini dan seterusnya? Tak ada kekuasaan dan kekuatan apapun yang akan mampu bertahan!!
.
Saya merasa yakin petani2 kita tidak membutuhkan predikat pahlawan. Kebanyakan diantara mereka malah tidak perduli dan tidak mau memikirkan itu. Yang ada dibenak petani pada umumnya cuma bagaimana bisa bercocok tanam dengan BIAYA LEBIH MURAH dan MENDAPATKAN HASIL YANG LEBIH BAIK. Adakah yang sungguh2 mendengarkan agenda harian mereka ini?
Petani Indonesia pada umumnya (harus kita akui), berlatar belakang kurang terpelajar. Istilah gaulnya, kurang banyak makan bangku sekolahan. Tapi itu bukan alasan untuk mengabaikan kepentingan mereka, apalagi menindasnya. Tak seorangpun boleh melakukan itu. Sebab tak seorangpun bisa hidup tanpa jasa petani. Tanpa petani yang baik, cepat atau lambat, kita juga akan mulai mengalami kemerosotan kualitas hidup. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu saya mengantarkan ibu saya pergi ke Penang, Malaysia, untuk berobat. Disana (di RS Adventis) banyak sekali orang Medan, khususnya orang2 Karo. Yang membuat saya tersentak adalah ketika Dr. Lim Hooy Ling (ahli ginjal di RS tsb) bertanya kepada saya, "Apa sih yang kalian makan di Indonesia? Kok banyak sekali yang penyakitan dan berobat kesini?". Waktu itu saya cuma bisa terdiam, tak bisa menjawab. Tak lama kemudian saya juga mendapat info, ada 5 penerbangan setiap hari dari Polonia menuju Penang. Hampir semuanya bisa dipastikan pasti berurusan dengan kesehatan. Menyimak pertanyaan Dr. Lim tadi, kita bisa menanyakan, apakah memang tak ada hubungannya antara tingkat kesehata kita dengan apa yang kita makan? Apakah memang tak ada korelasinya antara maraknya pemakaian pupuk dan obat kimia di lahan pertanian kita dengan membanjirnya warga masyarakat kita di setiap rumah sakit, baik di Medan, maupun yang kita ekspor ke luar negeri? Apa memang tak ada hubungan antara meningkatnya pemakaian pupuk dan obat kimia dengan meningkatnya permintaan akan obat2an kesehatan, yang celakanya, juga berunsur kimia itu? Celaka sekali kita ini. Kita penyakitan karena mengkonsumsi bahan2 kimia dari makanan kita. Lalu kita pergi ke dokter. Disana kita disuruh makan kimia lagi. Herankah kita kalau setiap hari tubuh kita semakin tidak bersahabat lagi dengan diri kita sendiri?
Tulisan ini mungkin terkesan melantur karena "nyenggol sana nyenggol sini". Tapi saya memang gelisah. Akibat kita semua memperlakukan petani HANYA SEBAGAI ALAT/OBJEK, maka semua kita akhirnya hanya menggenapi kebenaran berikut ini, "kita semua harus MENUAI APA YANG KITA TABUR". Akibat kebijakan2 politik dan ekonomi kita, yang cenderung hanya menjadikan petani sebagai ALAT pemenuhan kebutuhan pangan dan juga alat bagi kepentingan politik, juga sekaligus sebagai PASAR bagi pupuk dan obat2 kimia (alat kepentingan ekonomi), maka sebagai sebuah bangsa, kita harus menelan kutuk yang kita lepaskan sendiri. Setiap hari, hampir semua warga bangsa Indonesia, harus menelan racun2 kimia melalui makanan mereka. Sialnya, pabrik2 kimia itu, banyak yang dibangun dari hasil pengumpulan uang pajak kita sendiri (Pabrik pupuk kimia bukankah kebanyakan BUMN). Dengan kata lain, kita malah telah membayar untuk kematian kita sendiri. Terasa berlebihankah ini? Mungkin saja. Saya harap Anda semua mau memberikan penilaian sejujurnya.
Lalu apa solusinya? Saya sarankan untuk memulai merestorasi paradigma kita akan petani dan pertanian. BAHWA PETANI BUKAN SEKEDAR ALAT BAGI KEPENTINGAN KITA, MELAINKAN MITRA TERPENTING UNTUK MENJAGA KELANGSUNGAN HIDUP KITA. Selama kita memandang petani hanya sebagai ALAT, maka kita juga akan memandang sektor pertanian tak lebih hanya sebagai KESEMPATAN UNTUK MENCARI KEUNTUNGAN BELAKA (paradigma saudagar nih). Bila paradigma ini tak berubah, percayalah, ditahun2 yang akan datang, kita akan membutuhkan lebih banyak rumah sakit bagi anak cucu kita. Karena itulah, mumpung masih dalam suasana peringatan kemerdekaan, saya ingin menyentuh kalbu setiap pembaca, agar kita mulai MEMERDEKAKAN PETANI kita, dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu, bukan hanya memberi mereka kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, tapi yang lebih penting, menjadikan mereka (termasuk kepentingan dan kebutuhannya) setara dengan kita dan semua orang.
MERDEKA ARTINYA BUKAN HANYA UNTUK SEKEDAR BEBAS, TAPI JUGA AGAR SETARA DENGAN SEMUA ORANG. KEBEBASAN TANPA KESETARAAN, APAKAH GUNANYA? JAYALAH PETANI INDONESIA. JAYALAH PERTANIAN TANAH KARO. BIARLAH PETANI KITA MENJADI SETARA DALAM SEGALA HAL DENGAN SEMUA ORANG DI MUKA BUMI.
MERDEKA...!!
Dengan begitu, MEMERDEKAKAN orang lain artinya bukan hanya membebaskan dia menentukan jalan hidupnya sendiri, tapi yang terpenting, menjadikan dia setara dengan semua orang.
Dalam konteks dunia pertanian kita, secara de jure, seluruh bangsa indonesia, termasuk seluruh petaninya, telah mendapat predikat MERDEKA sejak 17 agustus 1945. Sejak proklamasi itu, tak ada satupun lagi warga Indonesia yang hidup dibawah kekuasaan bangsa lain. Itu secara de jure. Bagaimana secara de facto?
Saya kurang paham kehidupan petani kita puluhan tahun yang lalu. Namun bila melihat kenyataan sehari2 sekarang ini, kebanyakan petani kita hanya menikmati kemerdekaan secara de jure saja. Secara hukum memang mereka bebas untuk hidup mandiri, bebas menentukan pilihan sendiri. Tapi secara faktual, sesungguhnya mereka hanya berganti TUAN (MENEER) saja. Kalau dulu tuan yang harus mereka layani adalah manusia berkulit putih (juga kuning, untuk sesaat), maka kini mereka harus melayani tuan2 lain, yang kulitnya kebanyakan sewarna dengan warna kulit mereka. Kalau boleh jujur, kebanyakan petani Indonesia hidup dalam kemerdekaan semu belaka. Padahal realita hidup mereka sehari2 penuh dengan keterpaksaan. Pilihan2 yang mereka ambil setiap hari , berkaitan dengan profesi mereka, seringkali hanyalah pendiktean oleh orang2 lain yang memiliki kekuasaan dan kepentingan yang lebih besar dan lebih kuat. Tuan2 penguasa di jaman pasca revolusi fisik ini, seringkali tak kalah kejam dan galaknya ketimbang meneer2 kulit putih yang dulu pernah mereka usir dari negeri ini.
Penjajahan era kemerdekaan ini nampak lebih halus dibandingkan penjajahan era sebelumnya. Tapi akibatnya sama saja buruknya, yaitu meminggirkan (memarjinalkan) petani. Pada jaman kolonial, petani Indonesia hanya dipakai tak ubahnya bagai cangkul saja. Dipakai hanya untuk memenuhi kebutuhan bangsa2 penjajahnya. Sementara harkat dan martabat petani sendiri tak terlalu dihiraukan. Mereka dipelihara seperti kerbau atau lembu saja. Diiberi imbalan secukupnya (itupun kadang tak cukup), sementara yang menikmati keuntungan terbesar dari jerih lelah mereka justru orang2 lain yang tak merasakan pahit getirnya pertarungan di ladang. (Bukankah lembu atau kerbau nasibnya begitu? Mereka yang capek, tapi yang mendapatkan untung paling besar bukan lembu atau kerbau itu kan?).
Bagaimana setelah merdeka? Setali tiga uang. Lagi2 petani hanya dijadikan alat untuk memenuhi kepentingan dan kebutuhan orang lain. Semua orang di muka bumi ini menikmati keuntungan yang sebesar2nya dari jerih lelah petani. Tak seorang manusiapun bisa hidup tanpa jasa petani. Tapi apa yang diperoleh petani pada umumnya sebagai imbalan atas jasa mereka menopang kehidupan semua manusia di bumi? Tak sebanding! Dimana2 pada umumnya, petani selalulah berada di posisi paling "corot" dari ukuran kesejahtraan dan penghargaan.
Kita memberi penghargaan "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" kepada guru2 kita, atas jasa mereka mencerdaskan anak2 (dan juga) kita. Bahkan babu2 yang kita ekspor keluar negeri kita beri penghargaan "Pahlawan Devisa". Lalu penghargaan apa yang kita berikan kepada petani2 kita, yang karena jasanya, setiap pagi kita masih bisa sarapan, makan siang dan makan malam. Coba bayangkan wajah dunia hari ini tanpa petani. Masih bisakah kita tersenyum satu sama lain. Saya rasa tak seorangpun masih bisa ganteng atau cantik lagi. Kalau kita bertemu, saya yakin, wajah yang saya lihat (juga yang Anda lihat), pastilah hanya wajah buruk dari orang bermuka pucat dan murung akibat kurang gizi. Dan saya sudah bisa bayangkan, suara musik yang kita akan paling sering dengar pastinya bukan dari sound system electronic tercanggih dirumah kita, melainkan dari gemuruh orkestra dari dalam perut kita sendiri. Bukankah dunia ini lebih menyeramkan tanpa kehadiran petani? Guru2 seluruh dunia boleh saja berhenti mengajar, pembantu2 rumah tangga boleh saja mogok bekerja, para insinyur komputer yang kita bangga2kan boleh saja pensiun berkarya, juga semua tentara, supir, atlit, atau apapun. Bahkan sekalipun seluruh raja2 dan penguasa2 dunia turun tahta secara serempak malam ini, kehidupan di bumi masih akan bisa bertahan, walaupun mungkin akan sulit. Tapi bagaimana kalau semua petani berhenti bertani sejak hari ini dan seterusnya? Tak ada kekuasaan dan kekuatan apapun yang akan mampu bertahan!!
.
Saya merasa yakin petani2 kita tidak membutuhkan predikat pahlawan. Kebanyakan diantara mereka malah tidak perduli dan tidak mau memikirkan itu. Yang ada dibenak petani pada umumnya cuma bagaimana bisa bercocok tanam dengan BIAYA LEBIH MURAH dan MENDAPATKAN HASIL YANG LEBIH BAIK. Adakah yang sungguh2 mendengarkan agenda harian mereka ini?
Petani Indonesia pada umumnya (harus kita akui), berlatar belakang kurang terpelajar. Istilah gaulnya, kurang banyak makan bangku sekolahan. Tapi itu bukan alasan untuk mengabaikan kepentingan mereka, apalagi menindasnya. Tak seorangpun boleh melakukan itu. Sebab tak seorangpun bisa hidup tanpa jasa petani. Tanpa petani yang baik, cepat atau lambat, kita juga akan mulai mengalami kemerosotan kualitas hidup. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu saya mengantarkan ibu saya pergi ke Penang, Malaysia, untuk berobat. Disana (di RS Adventis) banyak sekali orang Medan, khususnya orang2 Karo. Yang membuat saya tersentak adalah ketika Dr. Lim Hooy Ling (ahli ginjal di RS tsb) bertanya kepada saya, "Apa sih yang kalian makan di Indonesia? Kok banyak sekali yang penyakitan dan berobat kesini?". Waktu itu saya cuma bisa terdiam, tak bisa menjawab. Tak lama kemudian saya juga mendapat info, ada 5 penerbangan setiap hari dari Polonia menuju Penang. Hampir semuanya bisa dipastikan pasti berurusan dengan kesehatan. Menyimak pertanyaan Dr. Lim tadi, kita bisa menanyakan, apakah memang tak ada hubungannya antara tingkat kesehata kita dengan apa yang kita makan? Apakah memang tak ada korelasinya antara maraknya pemakaian pupuk dan obat kimia di lahan pertanian kita dengan membanjirnya warga masyarakat kita di setiap rumah sakit, baik di Medan, maupun yang kita ekspor ke luar negeri? Apa memang tak ada hubungan antara meningkatnya pemakaian pupuk dan obat kimia dengan meningkatnya permintaan akan obat2an kesehatan, yang celakanya, juga berunsur kimia itu? Celaka sekali kita ini. Kita penyakitan karena mengkonsumsi bahan2 kimia dari makanan kita. Lalu kita pergi ke dokter. Disana kita disuruh makan kimia lagi. Herankah kita kalau setiap hari tubuh kita semakin tidak bersahabat lagi dengan diri kita sendiri?
Tulisan ini mungkin terkesan melantur karena "nyenggol sana nyenggol sini". Tapi saya memang gelisah. Akibat kita semua memperlakukan petani HANYA SEBAGAI ALAT/OBJEK, maka semua kita akhirnya hanya menggenapi kebenaran berikut ini, "kita semua harus MENUAI APA YANG KITA TABUR". Akibat kebijakan2 politik dan ekonomi kita, yang cenderung hanya menjadikan petani sebagai ALAT pemenuhan kebutuhan pangan dan juga alat bagi kepentingan politik, juga sekaligus sebagai PASAR bagi pupuk dan obat2 kimia (alat kepentingan ekonomi), maka sebagai sebuah bangsa, kita harus menelan kutuk yang kita lepaskan sendiri. Setiap hari, hampir semua warga bangsa Indonesia, harus menelan racun2 kimia melalui makanan mereka. Sialnya, pabrik2 kimia itu, banyak yang dibangun dari hasil pengumpulan uang pajak kita sendiri (Pabrik pupuk kimia bukankah kebanyakan BUMN). Dengan kata lain, kita malah telah membayar untuk kematian kita sendiri. Terasa berlebihankah ini? Mungkin saja. Saya harap Anda semua mau memberikan penilaian sejujurnya.
Lalu apa solusinya? Saya sarankan untuk memulai merestorasi paradigma kita akan petani dan pertanian. BAHWA PETANI BUKAN SEKEDAR ALAT BAGI KEPENTINGAN KITA, MELAINKAN MITRA TERPENTING UNTUK MENJAGA KELANGSUNGAN HIDUP KITA. Selama kita memandang petani hanya sebagai ALAT, maka kita juga akan memandang sektor pertanian tak lebih hanya sebagai KESEMPATAN UNTUK MENCARI KEUNTUNGAN BELAKA (paradigma saudagar nih). Bila paradigma ini tak berubah, percayalah, ditahun2 yang akan datang, kita akan membutuhkan lebih banyak rumah sakit bagi anak cucu kita. Karena itulah, mumpung masih dalam suasana peringatan kemerdekaan, saya ingin menyentuh kalbu setiap pembaca, agar kita mulai MEMERDEKAKAN PETANI kita, dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu, bukan hanya memberi mereka kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, tapi yang lebih penting, menjadikan mereka (termasuk kepentingan dan kebutuhannya) setara dengan kita dan semua orang.
MERDEKA ARTINYA BUKAN HANYA UNTUK SEKEDAR BEBAS, TAPI JUGA AGAR SETARA DENGAN SEMUA ORANG. KEBEBASAN TANPA KESETARAAN, APAKAH GUNANYA? JAYALAH PETANI INDONESIA. JAYALAH PERTANIAN TANAH KARO. BIARLAH PETANI KITA MENJADI SETARA DALAM SEGALA HAL DENGAN SEMUA ORANG DI MUKA BUMI.
MERDEKA...!!
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !